MEDIA MATARAKYATNEWS || MINUT, 01/05/2025 – Pengunaan senjata tajam untuk melukai orang lain, hanya di anggap sebagai hal yang biasa terjadi. Hal tersebut, diakibatkan karena kurangnya ketegasan dalam penerapan hukum terhadap pelaku, seperti halnya yang terjadi di Tatelu. Penganiayaan dengan mengunakan samurai, dan di duga kuat bermotif SARA, di tuntut ringan oleh Jaksa penuntut di Pengadilan Negeri Airmadidi , Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara.
Harapan masyarakat luas, bagi pelaku pembuat onar dengan mengunakan sajam dapat di hentikan, namun hal itu hanya harapan kosong. Pelaku kejahatan dengan mengunakan senjata tajam, justru semakin meningkat. Bagaimana tidak, penerapan hukum UU Darurat pasal 2, ayat 1 tahun 1951, tentang pengunaan senjata tajam (Sajam), dengan ancaman 10 tahun penjara kedengaran menakutkan. Namun realisasi di lapangan tidaklah seperti itu, karena adanya kebiasaan, “semua bisa diatur.
Dalam kasus ini, pelaku bukan saja menganiaya korban, tapi juga mengancam dengan menggunakan kata-kata, yang mengandung unsur SARA. Selain itu, melakukan pengrusakan di dalam rumah korban. Namun apa yang terjadi? ancaman hukumannya jauh dari harapan. Pencuri ayam, jauh lebih berat hukumannya di bandingkan dengan, “perencanaan menghabisi nyawa orang lain.
Tentunya dengan hal ini, masyarakat menjadi semakin khawatir dengan kondisi, dimana hukuman yang diterapkan terhadap pelaku penganiayaan Sajam, dan juga diduga terindikasi SARA, sangat tidak mungkin mendapatkan keadilan jika tuntutan jaksa seakan mempermainkan hukum.
Korban menduga ada kong kalikong, saat pembuatan BAP oleh penyidik kepolisian sampai perkara dinaikan ke Kejaksaan. Bagaimana tidak, Keterangan yang di sampaikan saksi dan korban, justru berbeda dalam dakwaan. Apalagi keterangan saksi dan korban di dalam fakta sidang, yang digelar di Pengadilan Negeri Airmadidi, sudah di akui semua oleh terdakwa sendiri.
“Bagaimana bisa, keterangan saat di BAP oleh penyidik, berbeda dengan dakwaan. Dalam hal ini, keterangan awal yang di utarakan oleh pelaku, tidak sama dengan keterangan pelaku saat di Pengadilan, alias ngawur, “ucap korban.
Menurutnya, sangat di sesalkan dakwaan tuntutan hukum yang di kenakan terhadap terdakwa dalam BAP, hanya mengacu pada pasal 2 ayat 1, UU darurat tahun 1951, dan atau pasal 351 ayat 1, tentang penganiayaan ringan. Kata “dan atau” tersebut, diduga kuat untuk meringankan terdakwa. Jadi nantinya, pengunaan pasal hanya antara pasal 1 atau 2. Disinilah kehebatan Jaksa dan penyidik dalam perkara ini, “ujarnya”.
Dan benar saja, tuntutan hukuman kepada pelaku (terdakwa), jauh lebih ringan. Justru pasal penganiayaan dalam dakwaan di hilangkan dan tuntutan menjadi 2 tahun 6 bulan.
Saya berharap, Kejaksaan Agung dan juga Polri melihat permasalah ini lebih dalam, karena tentunya akan berdampak luas nantinya ke masyarakat. Saya hanyalah orang kecil, namun saya meminta keadilan yang tentunya, menuntut pelaku sesuai dengan perbuatanya.
” Saya akan terus mencari keadilan, sampai keadilan berpihak kepada yang benar. “Tegasnya.
Kronologis :
Saat itu, pelaku yang sudah di pengaruhi oleh minuman keras (alkohol), memasuki rumah korban dengan membawa senjata tajam berupa samurai (panjang 73 Cm), (lebar 3 Cm), panjang sisi tajam 44 Cm), kemudian mengatakan “Kita dengar ngoni beking-beking ibadah Muslim disini kang, kita mo potong pa ngana”. Ucapan itu, diutarakan oleh pelaku sebelum pelaku melakukan penganiayaan sebanyak 3x, di bagian arah kepala korban. Usai melakukan penganiayaan dengan senjata tajam, pelaku kemudian melakukan pengrusakan di dalam rumah korban dan kembali mengatakan “kita nemau mo lia ngoni ba ibadah Muslim di sini, kita mo cincang pa ngoni samua, “ucap korban mengutip pernyataan pelaku dalam sidang.
Jika kasus ini di abaikan, akan sangat berbahaya dan berdampak kepada masyarakat luas. Kami keluarga, hanya meminta keadikan hukum, dan kami tidak akan berhenti sampai kami mendapatkan keadilan itu.
RED-MATARAKYATNEWS
Editor : Redaksi