MEDIA MATARAKYATNEWS || MINUT, TATELU – Kasus penganiayaan dengan menggunakan Sajam, dan diduga kuat mengandung unsur Sara, yang terjadi di Desa Tatelu, dimana pelaku memasuki rumah korban dengan membawa senjata tajam dan kemudian menganiaya korban, seraya mengucapkan kata-kata yang mengandung SARA, hanya di tuntut ringan oleh Jaksa Penuntut di Pengadilan Negeri Airmadidi Minahasa Utara.
Kasus ini kembali mencuat, setelah Jaksa Penuntut memberikan tuntutan hukum yang sangat ringan kepada Pelaku. Sebuah preseden buruk dipertontonkan kepada publik, di mana penganiayaan dengan senjata tajam yang di duga kuat mengandung unsur SARA, hanya di jadikan permainan oleh oknum penyidik kepolisian dan oknum Jaksa.
Menurut Jaksa Penuntut, saat di wawancarai Wartawan bahwa mereka (Jaksa), membuat putusan berdasarkan hasil BAP dari Penyidik, karena Yang Menentukan Pasalnya Adalah Pihak Penyidik itu sendiri. Diketahui, Kasus ini di tangani oleh Penyidik Kepolisian Sektor Dimembe, Minahasa Utara.
Harapan masyarakat kandas, setelah melihat proses hukum yang di terapkan tidak membuat efek jerah bagi pelaku. Sehingga sangat tidak mungkin penegakan hukum yang adil tidak di dapatkan oleh masyarakat kecil. Kasus yang dengan jelas-jelas, menganiaya dengan menggunakan senjata tajam (Samurai), dalam rumah korban sambil mengutarakan kalimat yang berbau SARA, hanya bisa di tuntut ringan. Patut diduga, ada permainan saat proses itu dilakukan.
“Jangan pernah berharap mendapatkan keadilan, apabila para oknum dengan mudahnya mempermainkan hukum. Saya jujur sangat menyesal, tidak mengklarifikasi bahwa perbuatan kriminal tersangka mengandung unsur SARA. Hal itu jelas-jelas Berindikasi SARA, karena tidak lain ucapan yang pelaku katakan kepada saya, adalah kalimat-kalimat ancaman dan berbau SARA. “Kata korban dengan nada kecewa.
Lebih lanjut lagi bahwa, klarifikasi yang dilakukannya korban tentang apa yang terjadi pada dirinya saat itu, awalnya menutupi Unsur SARA tersebut, karena murni menjaga agar kasus SARA ini tidak menyebar. Namun apa yang di lakukannya itu tidak dihargai, dan Justru dia merasa di permainkan oleh oknum yang menangani kasus tersebut.
Oknum penyidik, yang menangani kasus ini seakan menganggap hal ini adalah kasus biasa, sehingga pasal yang di berikan sangat tidak memenuhi efek jerah terhadap pelaku. Apakah menunggu saya luka berat (Opname), atau Mati dulu? barulah di proses secara serius oleh penyidik? Hal ini, menunjukan betapa tidak berpihaknya oknum penyidik tersebut terhadap keadilan dan penegakan Hukum.
Diketahui, kasus tersebut dilaporkan sejak tanggal 4 februari 2025, berdasarkan laporan polisi nomor : LP/B/10/II/2025/SPKT/Polsek Dimembe/Polres Minahasa Utara, pada pukul (21:52). Setelah pemeriksaan oleh penyidik Kepolisian Sektor Dimembe Minahasa Utara, diperoleh hasil dari proses penyelidikan dan penyidikan tersebut, bahwa kasus ini merupakan Kriminal Biasa (Tidak mengandung unsur SARA).
Padahal sebelumnya, keterangan dari pelaku murni mengandung unsur SARA, dan tidak ada ucapan lain yang di utarakan pelaku selain kata-kata “SARA, yang disertai dengan pengunaan senjata tajam (Samurai), serta pengrusakan di dalam rumah. Dimana rumah tersebut, digunakan untuk kegiatan pengajian seminggu sekali. Akibat dari proses penyidikan tersebut, Jaksa Penuntut kemudian memberikan tuntutan pidana ringan kepada pelaku, yang membuat kasus tersebut masih menyisakan berbagai keganjilan.
Untuk saat ini, kegiatan Pengajian telah dihentikan, berdasarkan pertimbangan keselamatan Jemaah. Dalam UUD 1945, pasal 29 ayat 1 dan 2, secara jelas mengatakan bahwa Negara menjamin kemerdekaan setiap individu melakukan ibadah, sesuai dengan keyakinannya. Tetapi fakta di lapangan, tersangka menghalang-halangi kegiatan ibadah warga. Dimana hal tersebut bertentangan dengan Undang-Undang.
Kemudian, dalam pemeriksaan saksi yang ada, Kepolisian Sektor Dimembe hanya berfokus pada penganiayaan biasa (pasal 351 ayai 1 KUHP). Padahal, seharusnya penyidik dalam kasus ini harus cermat, dengan memperluas penyelidikan siapa dalang dibalik perkataan tersangka yang mengatakan, “Kita dengar kata ngoni”. Kata (kita dengar) Itu, mengacu pada siapa? Didengar dari siapa? Ada motif apa?
Berarti dalam hal ini, diduga ada yang menyampaikan sekaligus menjadi provokator sehingga pelaku nekat berbuat tindak pidana melawan Hukum. Tidak hanya itu, usai kejadian tersebut korban kembali mengalami ancaman dari salah satu adik tersangka, yang juga membawa senjata tajam dan mendatangi rumah korban, serta melakukan keributan dengan melakukan pengrusakan pagar rumah.
Meskipun hal ini, sudah dilakukan mediasi oleh Polsesk Dimembe, dan korban telah memaafkan pelaku (adik pelaku penganiayaan), berdasarkan kejadian ini, pihak kepolisian harusnya lebih jeli dalam menyikapi kasus ini. Berdasarkan hal tersebut, Polisi harusnya dapat mengembangkan penyelidikannya, mengingat kasus ini dampaknya sangat besar, terkait toleransi antar umat beragama di Sulawesi Utara.
Korban meminta agar Polda Sulut bapak Irjen. Pol. Dr. Roycke Harry Langie, S.I.K,. MH menyikapi serius peristiwa ini, agar tidak menjadi masalah yang menimbulkan gangguan keamanan dan ketertiban dalam masyarakat, di kemudian hari. Jangan sampai karena ulah oknum-oknum tersebut, yang tidak profesional dan tidak berpihak pada keadilan dan kebenaran, membawa problema dikemudian hari.
Menurut korban, dia tidak akan berhenti mencari keadilan, sampai kasusnya ini di tangani dengan baik. Dia (Korban), dalam waktu dekat bersama media, akan menyurati Kapolri, Komnas HAM, Kompolnas, dan Kejaksaan Agung RI. Untuk meminta keadilan hukum atas Kasus Penganiayaan Sajam diduga unsur SARA ini. ujarnya”.
RED-MATARAKYATNEWS
Editor : Redaksi