SULUT || MEDIA MATARAKYATNEWS, 8/4/2024 – Desa hari ini masih dilingkupi sejumlah masalah, mulai dari tata kelola keuangan yang masih eksklusif dari partisipasi bermakna (meaningful participation) masyarakat hingga korupsi. Akibatnya, pembangunan dan kesejahteraan masyarakat desa belum optimal. Oleh karena itu, pengambil kebijakan, baik itu eksekutif maupun legislatif, seharusnya fokus urun rembuk membenahi regulasi dan sistem yang efektif meningkatkan kemajuan pembangunan desa, termasuk didalamnya mereduksi potensi korupsi.
Tren penindakan korupsi setiap tahun menunjukkan fenomena mengkhawatirkan terkait dengan desa. Korupsi di level desa konsisten menempati posisi pertama sebagai sektor yang paling banyak ditindak atas kasus korupsi oleh aparat penegak hukum sejak 2015-2021. Sepanjang tujuh tahun tersebut, terdapat 592 kasus korupsi di desa dengan nilai kerugian negara mencapai Rp 433,8 miliar. sumber : Indonesia Corruption Watch (ICW)
Korupsi yang makin meningkat di desa berjalan beriringan dengan peningkatan alokasi dana yang cukup besar untuk membangun desa. Korupsi yang terjadi di desa akan berdampak pada kerugian yang dialami langsung oleh masyarakat desa. Hal ini perlu menjadi perhatian utama pemerintah. Hingga saat ini, belum ada solusi dan langkah pencegahan efektif untuk menekan korupsi di Desa.
Dari berbagai faktor penyebab korupsi dana desa salah satu yang paling penting yakni kurangnya pelibatan masyarakat dalam proses perencanaan dan pengawasan dana desa. Akses masyarakat untuk mendapat informasi pengelolaan dana desa dan terlibat aktif dalam perencanaan dan pengelolaan pada praktiknya sangat dibatasi.
Padahal (pasal 68 UU Desa) mengatur hak dan kewajiban masyarakat desa untuk bisa mengakses dan dilibatkan dalam pembangunan desa. Persoalan itu bertambah pelik karena lembaga desa yang berperan penting memberdayakan masyarakat dan demokrasi seperti Badan Permusyawaratan Desa (BPD) tidak berjalan optimal.
Pelibatan masyarakat menjadi faktor paling dasar karena masyarakat desa yang paling mengetahui kebutuhan desanya dan secara langsung menyaksikan bagaimana pembangunan desa.
Sebagai upaya mencegah terjadinya korupsi yang berkaitan dengan dana desa, agar pengawasan oleh masyarakat diperkuat. BPD harus maksimal mengakomodir aspirasi dan mengajak masyarakat terlibat aktif mulai dari perencanaan, pembangunan desa dan pertanggungjawaban.
Selain masyarakat, pengawasan formal harus dioptimalkan. Misalnya, Satuan Tugas Dana Desa yang dibentuk Kementerian Desa perlu memaksimalkan pengawasan serta memberikan pelatihan bagi pendamping dan kepala desa. Kementerian Dalam Negeri layaknya memperkuat kapasitas perangkat desa.
Tidak menutup kemungkinan korupsi marak terjadi karena ketidaktahuan atau ketidak mampuan perangkat desa mengelola anggaran. Tak ketinggalan agar masyarakat diberi kemudahan dalam melaporkan masalah mengenai dana desa. Laporan itu harus ditindaklanjuti aparat terkait dan menjamin kerahasiaan pelapor.
Selain itu pemerintah perlu melakukan evaluasi dan perbaikan secara menyeluruh terkait penyaluran dan pengelolaan dana desa. Ini penting agar perkara seperti yang terjadi di beberapa Desa tidak berulang.
Dengan disahkannya UU Desa terkait perpanjangan masa jabatan Delapan Tahun, membuat iklim demokrasi dan pemerintahan desa menjadi tidak sehat dan bahkan dapat menyuburkan oligarki di desa. Belum lagi ditambah fenomena dinasti yang juga muncul dalam pemilihan kepala desa. Akibatnya, potensi sebuah desa dipimpin oleh kelompok yang sama selama puluhan tahun semakin terbuka lebar.
Salah satu masalah mendasar di desa hari ini adalah minimnya keterlibatan masyarakat dalam pengambilan suatu keputusan yang berkaitan dengan pembangunan. Selain itu, transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan dan pembangunan oleh pemerintah desa disinyalir kerap melatarbelakangi praktik korupsi di sana.
RED – MEDIA MATARAKYATNEWS
CS/Hj. Najmah