Jelang Penyelenggaraan Pilkada Serentak. Ini Potensi Penyelewengan Incumbent Sehingga Bisa Menjadi Modal Politik

MEDIA MATARAKYATNEWS || SULUT, 16/5/2024 – Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak di gelar November 2024 mendatang dikhawatirkan rawan penyelewengan. Kekhawatiran itu berangkat dari banyaknya praktik penyelewengan dalam pelaksanaan Pilkada pada beberapa waktu belakangan.

Koordinator Divisi Jaringan ICW, Abdullah Dahlan, menyebutkan, bahwa sejak tahun 2010 berdasarkan catatan ICW, tren penyelewengan yang dilakukan oleh calon kepala daerah masih terkait dengan penyelewengan terhadap dana bantuan sosial (bansos). “Penelitian ICW tahun 2010, tren penyalahgunaan ada pada dana Bansos yang menjadi modal politik,” katanya dalam suatu diskusi di Jakarta,

Menurutnya, penyalahgunaan dana bansos itu justru dilakukan oleh pasangan calon incumbent atau petahana yang kembali maju dalam pemilihan kepala daerah. Menurutnya, calon pasangan incumbent punya akses yang sangat luas dan memang menjadi kewenangannya untuk memutuskan penggunaan dana tersebut.

Selain itu, Dahlan juga melihat bahwa penyalahgunaan dana bansos tersebut di satu sisi sangat menguntungkan pasangan calon incumbent. Sebab, dana bansos adalah program populis yang bisa menjadi ‘alat’ bagi pasangan calon tersebut dalam membangun citra terhadap masyarakat yang menjadi konstituennya. “Ruang bansos rawan dibajak oleh calon kepala daerah,” sambungnya.

Baca Juga  Menteri ATR/BPN Agus Harimurti Yudhoyono Tindak Lanjuti Instruksi Presiden, Tinjau Lahan Relokasi Warga Terdampak Erupsi Gunung Ruang Tagulandang

Selain penyalahgunaan dana bansos, Dahlan juga melihat bahwa pasangan calon incumbent juga diuntungkan lewat kucuran dana desa yang telah cair. Ia khawatir kucuran dana desa itu disalahgunakan oleh pasangan calon sebagai ‘modal politik’ untuk memuluskan jalannya untuk terpilih kembali.

Sebagai contoh, pasangan calon incumbent melakukan kampanye terselubung dengan memanfaatkan pendanaan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Misalnya, pembangunan infrastruktur daerah seperti pembangunan jalan yang dilaksanakan menjelang penyelenggaraan Pilkada Serentak.

Sumber lain yang digunakan sebagai modal politik, lanjut Dahlan, adalah praktik pemberian izin yang dilakukan oleh pasangan calon incumbent. Ia menilai, sumber dana melalui perizinan ini banyak terjadi di detik-detik menjelang pelaksanaan Pilkada. “Sumber lainnya, banyak keluar izin jelang Pilkada,” tandasnya.

Di tempat yang sama, Peneliti Perludem Fadli Ramadhanil melihat, banyak terjadi penyelewengan dalam proses penyelenggaraan Pilkada Serentak lantaran sistemnya sendiri. Misalnya, dalam hal pencalonan. Proses pencalonan ini membutuhkan biaya yang sangat besar. Hal itu berdampak terhadap pasangan calon tersebut ketika telah terpilih.

Baca Juga  Sinyal Kuat Paslon Yulius Selvanus Komaling-Tatong Bara di Pastikan Akan Maju Bersama Pada Pilgub Sulut

Menurut Fadli, ketika dana tersebut merupakan dana pribadi maka pasangan calon kepala daerah akan mencari cara untuk mengembalikan biaya tersebut. “Biaya pelaksanaan kampanye yang sangat besar juga beri ruang Kepala Daerah untuk mencari uang banyak dalam proses pencalonan Kepala Daerah,” katanya.

Direktur Eksekutif Legality, Sexio Nur Sidqi, mengatakan, jika proses penyelenggaraan Pilkada Serentak banyak terjadi penyelewengan, dikhawatirkan dalam rentan waktu kepala daerah itu menjabat akan rentan terkena kasus akibat dalam proses pemilihannya dilakukan secara tidak benar.

Ketika kepala daerah menjadi ‘pasien’ penegak hukum, baik itu Kejaksaan atau KPK, maka di daerah tersebut terjadi vakum kekuasaan yang mengakibatkan kesejahteraan daerah menjadi terabaikan. Menurutnya, jika hanya dipimpin oleh Pelaksana Tugas (Plt), tugas serta wewenang yang dimiliki Plt sangat terbatas terutama dalam hal mengeluarkan kebijakan.

“Saya khawatir kepala daerah rentan terhadap penegak hukum. Selain itu, ketika Plt yang memimpin, dia terbatas dalam membuat kebijakan. Sehingga daerah menjadi terabaikan dan biaya Pilkada yang mahal menjadi sia-sia,” ujarnya”.

Baca Juga  Steven Tuwaidan Rangkap Tiga Jabatan Berpotensi Timbulkan Conflict of Interest. Konsistensi Pelayanan Publik Jadi Sorotan

“Mendagri bisa tutup mata anggaran untuk lebih ketat mengatur soal dana bansos. Dana bansos terbukti paling banyak kasusnya,” katanya.

Mantan Penasihat KPK Abdullah Hehamahua juga sepakat bahwa untuk mengatasi permasalahan ini perlu dilakukan revisi terhadap paket undang-undang terkait dengan pemilihan umum. Menurutnya, ke depan revisi aturan yang ada perlu fokus pada tiga aspek utama, yakni tentang persyaratan calon, tentang persyaratan pengusung calon, dan juga tentang proses pelaksanaan pemilihan. pungkasnya”. Melansir dari Hukum Online

Masyarakat harus lebih Jelih melihat bantuan yang diberikan oleh seorang Calon Kepala Daerah menjelang Pilkada, karena Bantuan Sosial (BANSOS) sudah terprogram oleh Pemerintah Pusat, dan bukan bantuan Pribadi dari Calon Gubernur dan Calon Bupati Calon Walikota “incumben” tersebut. Hal ini jelas akan merugikan Masyarakat awam yang tidak memahami hal ini.

 

RED-MATARAKYATNEWS

Editor ; Nj

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *