MEDIA MATARAKYATNEWS || BITUNG – Kasus sebagian tanah Akademi Maritim Indonesia (AMI) Bitung, menjadi isu besar yang mencakup supremasi hukum di Sulawesi Utara (Sulut), dan integritas lembaga Negara, serta dugaan penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat tinggi militer.
Berikut Fakta dasar yang disebutkan;
* Sebagian Tanah milik AMI (Akademi Maritim Indonesia) Bitung, sudah dimenangkan secara hukum hingga tingkat Mahkamah Agung, dengan Putusan PK, No. 640 PK/Pdt/ 2012 (inkracht), dan sudah dilakukan pelaksanaan Eksekusi no. 40/ Pdt.G/2008. Tanggal 12 september 2017.
Namun, masih terjadi intervensi terhadap BPN Kota Bitung, Kepala Kantor ATR/BPN Provinsi Sulawesi Utara, Pengadilan Negeri Bitung. Intervensi tersebut diduga, dilakukan oleh Jenderal TNI aktif bernama Rano Maxim Rudolf Tilaar, dengan mempengaruhi institusi Polda Sulut, dengan secara sah melawan hukum.
_Dugaan Motif Intervensi dan Intimidasi._
Oknum Jenderal bernama Rano Tilaar, merasa memiliki atau terlibat dalam klaim kepemilikan, atas sebagian tanah AMI Bitung, secara langsung atau lewat pihak ketiga (keluarga, rekan bisnis, yayasan, dll). Hal ini, bisa menjadi motif ekonomi dengan nilai tanah yang tinggi.
_Pengaruh dan Kuasa:_
Sebagian pihak, dengan kekuatan politik atau militer, kadang enggan menerima kekalahan hukum dan mencoba untuk, “mengatur ulang” hasil putusan melalui jalur kekuasaan dengan menekan pejabat BPN, agar tidak menerbitkan sertifikat dan atau membatalkan sertifikat, yg oleh Mahkamah Agung sudah dinyatakan, “Tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan mengikat.
Hal tersebut, membuat Institusi ragu atau takut, dalam menjalankan putusan hukum. Selain itu, berbagai upaya untuk mengkriminalisasi dilakukan, salah satunya dengan mendatangi Polda, BPN kota Bitung, dan Kanwil Atr/BPN Sulawesi Utara, serta Pengadilan Negeri Bitung, dalam usaha dan upaya membalik keadaan. Yaitu, melaporkan pihak ahli waris secara pidana, dengan cara mengkriminalisasi. Tujuannya adalah untuk menciptakan kesan bahwa, kasus ini “belum selesai, “padahal sudah inkracht.
Ketakutan dan tekanan secara psikologis oleh pihak yang berkepentingan, melalui Intervensi oleh figur tinggi TNI aktif. Ini bukan hanya soal hukum, tapi juga tekanan moral dan psikologis, sehingga Pejabat sipil seperti Kepala BPN, Hakim, atau Notaris dll, bisa merasa terancam atau tidak nyaman dalam bersikap netral.
Memang pada rezim dahulu, aparat di daerah bisa segan menghadapi “kuasa pusat” meski fakta hukumnya sudah jelas. Tapi komitmen Presiden Prabowo untuk menciptakan budaya yang aman dan merdeka, tak akan lagi tergerus oleh mafia-mafia tanah yg berlindung dibalik jabatan militer dan lain lain. Berikutnya, jika terbukti apa yang dilakukan Jenderal Rano Maxim R. Tilaar, maka hal itu merupakan pelanggaran berat.
Penyalahgunaan dalam jabatan, merupakan pelanggaran UU TNI, KUHP, dan UU Tipikor, jika terbukti menggunakan pengaruh untuk keuntungan pribadi.
Mengintervensi lembaga Hukum, dan melanggar asas independensi kekuasaan Kehakiman, dapat dikenai sanksi pidana.
Ketua Dewan Perwakilan Pusat (DPP), Bintang Pejuang Keadilan Nasional (BPKN) Sulawesi Utara (Sulut), Dr.c. Dirk Beni Lumenta, SH.,MH., memberikan penjelasan mengenai hal tersebut. Menurutnya, menghalangi pelaksanaan putusan inkracht, berpotensi sebagai obstruction of justice, dan perbuatan melawan hukum.
Oleh karena itu, ancaman terhadap pejabat Negara (jika terbukti), Dapat dilaporkan secara pidana atau pelanggaran kode etik ke TNI, Propam Polri, hingga KPK.
“Yang pasti, intervensi terhadap proses hukum yang sudah inkracht, merupakan pelanggaran berat. Ini mengancam keadilan dan supremasi hukum di Indonesia. “Ungkap Dr.c. Dirk Beni Lumenta, SH.,MH.
Red-MATARAKYATNEWS
NJ